Aku lahir dari keluarga yang sederhana, di sebuah desa yang masih dipenuhi persawahaan dan semak belukar. Aku anak pertama dari dua bersaudara, selisih usiaku dengan adikku kurang lebih sekitar tiga tahun. Kami tak punya rumah sendiri, sehari-hari kami hanya tinggal di gubuk kecil milik tetangga. Tapi saat ayah pergi ke kota besar untuk mencoba merubah nasib sebagai pedagang nasi goreng, kami dititipkan di rumah nenek yang ada di kampung sebelah. Saat itu aku kelas tiga SD.
Sehari-hari, aku biasanya membantu kakek. Kakek mempunyai ladang yang meski tak begitu besar, tapi cukup untuk memenuhi kebutuhan kami sehari-hari. Ladang itu sebagian dia jadikan tempat memelihara ikan, dan sebagian lagi ia jadikan tempat bercocok tanam segala macam jenis sayuran, mulai dari kol, sawi, bawang merah, kacang panjang, tomat, bahkan cabe. Kampung kami memang sangat sepi, saat itu belum ada listrik.
Di pertengahan kelas lima SD, nenek meninggal. Hal itu sempat membuat keluarga kami shock, khususnya kakek, dia tak menyangka akan ditinggal oleh nenek secara mendadak. Kakek sempat murung dan berubah jadi pendiam selama beberapa bulan. Aku sempat sedih juga karena kehilangan tempat main dan panutan kalau lagi ada masalah di sekolah. Ibu yang merasa iba pada kakek akhirnya berusaha menjodohkan kakek dengan seorang perempuan, sebut saja mbak Darsih, seorang wanita parobaya yang masih kelihatan cantik di usianya yang sudah lewat 30 tahun.
Perkenalan ibu dengan mbak Darsih terjadi saat wanita itu ingin membeli ikan milik kakek untuk acara hajatan ultah putra sulungnya. Mengetahui kalau mbak Darsih adalah seorang janda yang ditinggal mati oleh suaminya -sama dengan kakek yang ditinggal mati oleh nenek- ibu berusaha menjodohkan mereka. Dan di luar dugaan, mbak Darsih menerimanya, padahal selisih usia mereka sekitar 30 tahun. Mungkin karena melihat kakek yang masih kelihatan gagah di usianya yang sudah lanjut, mbak Darsih jadi kesengsem. Kakek memang masih kelihatan berotot dan awet muda meski kulitnya agak sedikit gelap, itu akibat kebiasaannya bekerja keras di ladang setiap hari.
Begitulah, sekitar tujuh bulan setelah ditinggal oleh nenek, kakek menikah lagi. Mbak Darsih yang dulunya tinggal di desa sebelah, setelah menikah dengan kakek, sepakat untuk tinggal bersama kami. Dia membawa serta dua orang anaknya yang masih kecil-kecil. Mbak Darsih ternyata orangnya baik, diapun secara ekonomi sangat mapan, jauh dibanding kakek, hingga tak jarang akhirnya sering membantu keuangan keluarga kami, khususnya ibuku yang memang tak tentu mendapat kiriman dari ayah. Mbak Darsih mempunyai beberapa rumah peninggalan almarhum suaminya yang dia kontrakkan.
Sebagai rasa terima kasih, aku berusaha tidak menolak jika disuruh apapun olehnya, karena kadang mbak Darsih juga memberiku upah, meski kadang aku harus pergi melintasi kampung lain untuk berbelanja memenuhi permintaannya.
Sifat lain dari mbak Darsih yang aku suka, dia bukan tipe orang yang malas. Tak jarang dia mencucikan pakaian milikku saat ibuku terlalu sibuk bekerja. Saat dia mencuci, aku sering kali membantunya menimba air, hal yang memang sudah rutin aku lakukan kalau mencuci bersama ibuku. Hal itu makin membuat mbak Darsih sayang kepadaku. Aku yang kadang suka diledek oleh teman-temanku -bahkan saudara-saudaraku- sebagai anak yang sedikit bodoh dan polos, tapi di mata mbak Darsih, aku adalah anak yang baik. Tapi ada satu kebiasaanku yang sering membuat ibuku marah; jika sudah tidur, aku akan sulit sekali dibangunkan. Apalagi kalau baru saja terpejam, mungkin butuh satu ember air, baru aku bisa bangun.
Sampai akhirnya, saat aku di akhir kelas enam SD, ayah meminta ibu untuk pindah mengikutinya. Kata ayah, usahanya sudah lumayan rame, daripada membayar orang untuk membantu, mending mengajak ibu saja. Alasan lainnya, karena ayah tak kuat kalau harus terus jauh dari ibu. Saat itu aku masih belum mengerti apa maksudnya. Ibu yang tampaknya juga merindukan ayah, akhirnya setuju.
Rencana awalnya, aku dan adikku akan dibawa. Tapi kakek melarang, katanya: mending kami ditinggal dulu, karena ayah belum benar-benar mapan, sayang kalau buang-buang uang untuk biaya kami pindah sekolah. Saat itu, aku memang sudah mendaftar ke SMP di kotaku. Adikku saat itu masih kelas lima SD. Alasan kakek cukup masuk akal. Tapi adik perempuanku yang memang sangat dekat dengan ibu, tidak mau ditinggal, dia ngotot untuk ikut dengan ibu pergi ke kota menemani ayah. Akhirnya, setelah berembug cukup lama, kakek memutuskan; adikku boleh ikut ibu, sedangkan aku akan tetap di kampung bersama kakek. Aku sendiri tidak keberatan karena selama ini aku memang dekat dengan kakek. Jadilah aku berpisah dengan ibu dan adikku.
Kepindahan ibu tidak membuatku merasa kehilangan karena kadang tiap bulan ibu pulang. Selain untuk menengokku, ibu juga memberi uang sekedarnya untuk kakek. Selama kepergian ibu, mbak Darsih lah yang ganti menjagaku. Dia sudah menganggapku seperti anaknya sendiri. Kalau dulu aku sering tidur di bale-bale, sekarang aku lebih leluasa tidur di kamar. Mbak Darsih memberiku kamar belakang yang dulu ditempati oleh ibu. Sedangkan kakek dan mbak Darsih tetap di kamar depan, bersama anak-anaknya yang masih kecil. Kamar di rumah kakek memang hanya dua, berhadap-hadapan, walau kamar kakek sedikit lebih besar.
Akhirnya, aku lalui hari-hari bersama kakek dan mbak Darsih dengan penuh suka cita. Seringnya di rumah berdua membuatku dekat dengan mbak Darsih, dia pun jadi tahu dengan salah satu kebiasaan burukku.
”Kenapa sih kamu kalau dibangunin susah sekali? Semalam mau mbak suruh pindah ke kamar karena udara dingin banget, takut kamu sakit.” kata mbak Darsih pada suatu hari, saat dia kesulitan membangunkanku.
“Yah, dia mana bisa dibangunin! Ada bom meledak juga tetap ngorok,” sahut kakek sebelum aku sempat menjawab.
Aku cuma tertawa menanggapinya.
Tak terasa, sudah satu tahun kami hidup bertiga. Kini aku sudah naik ke kelas 2 SMP. Saat itulah, untuk pertama kalinya aku mengalami mimpi basah, itu sebenarnya membuatku sangat heran dan bingung. Ingin bertanya, tapi tak tahu kepada siapa. Seiring dengan itu, suaraku juga mulai berubah, membuat aku malas bermain dengan teman-teman lain. Ditambah bulu-bulu halus di bawah hidungku yang juga mulai tampak, aku makin menjadi bahan ledekan teman-temanku. Aku yang awalnya anak yang jarang suka bermain, sekarang jadi makin malas keluar. Paling hanya ke sawah tak jauh dari rumahku, itupun kalau pas musim layangan saja. Selebihnya, aku lebih suka melihat kakek berkebun atau memberi makan ikan.
Biasanya, setelah adzan maghrib berkumandang, kampung kami menjadi sepi. Kegelapan terlihat dimana-mana, hanya lampu-lampu minyak yang menyala, atau kadang juga petromak yang menjadi penerang bagi warga kampung yang letak rumahnyapun tak begitu berdekatan. Hanya masjid yang biasanya ramai hingga sekitar jam tujuh malam. Setelah itu, desa kami benar-benar sepi dan kebanyakan penghuninya langsung terlelap dalam mimpi.
Di pertengahan kelas dua, kulihat kakek suka mulai merasa kelelahan, mungkin karena usianya yang makin merambat senja. Aku memang kadang suka diminta kakek, atau bahkan mbak Darsih, untuk memijat mereka. Tapi di saat itu, hampir seminggu sekali kakek menyuruhku melakukannya. Aku pun kadang meminta pertolongan mbak Darsih, terutama jika aku ingin dikerok. Mbak Darsih memang kadang melakukan itu jika aku masuk angin.
Pagi itu, kulihat kakek tidak ke ladang. “Sakit lagi ya, mbak?” tanyaku.
”Ah, biasa. Memang harus istirahat dulu. Seminggu lalu baru kuras kolam, eh kemarin malah tanam tomat.” katanya. Kulihat mbak Darsih menatapku penuh arti, saat itu aku sedang menimba air hanya dengan bercelana dalam saja. Aku tak merasa aneh karena aku sudah sering melakukan itu. Dan selama ini tidak pernah ada masalah.
Hingga suatu hari, secara tak sengaja, handuk yang kupakai untuk melilit tubuhku jatuh saat aku sedang asyik menimba, padahal saat itu aku sedang tidak memakai celana dalam, hingga terlihatlah burung mudaku di depan mata mbak Darsih. Dia tertawa cekikikan saat melihatnya, ”Cepetan ditutup, nanti burungnya kabur lho!” dia berkata sambil melengos ke samping, kulihat mukanya jadi agak pucat dan memerah.
Aku yang tak merasa risih sama sekali, hanya bersikap biasa saja. ”Iya, mbak.” kuraih handukku dan kusampirkan lagi ke pinggangku. Kuteruskan lagi menimba air. Di pikiranku; karena saat SD dulu mbak Darsih sering memandikanku jika ibu lagi repot, tentunya dia sudah sering melihat tubuh telanjangku, jadi buat apa malu. Aku tak pernah menyangka, kalau peristiwa sore itu ternyata begitu berkesan bagi mbak Darsih.
Sampai kemudian, saat itu aku baru saja menyelesaikan ujian akhir kelas dua SMP, usiaku mungkin sekitar 14 tahun. Hari itu, kakek lagi pergi ke kota untuk membeli benih. Jam tujuh malam, saat mbak Darsih masih asyik mendengarkan radio, aku sudah terlelap. Tidak seperti biasa, malam itu aku bermimpi. Mimpi yang sangat aku nantikan. Mimpi basah. Tapi entah, malam itu mimpiku terasa begitu nyata. Aku merasa kontolku memasuki lubang yang sangat hangat. Enaaak sekali! hingga tak lama kemudian, aku pun mengejang. Saat itu aku merasa ada orang duduk diatas pangkuanku, tapi dasar aku kalau tidur lelap sekali, aku tidak bisa mengetahui itu beneran atau cuma mimpi.
Paginya, aku langsung memeriksa celanaku. Heran, tak ada kerak kering bekas air maniku, hal yang biasanya aku temukan jika habis bermimpi basah. Yang membuatku makin bingung, mimpiku sepertinya terasa sangat nyata. Nikmatnya berkali-kali lipat daripada biasanya. Aku ingin mengulanginya lagi.
Dan keberuntungan membuatku merasakannya tak lama kemudian. Tepatnya kurang dari dua minggu sejak mimpiku yang pertama. Tapi kali ini aku agak sedikit sadar karena aku memang belum benar-benar terlelap. Kembali kurasakan seperti ada orang duduk di atas pinggangku, tapi penyakit lelapku membuatku tak bisa membuka mata. Aku hanya bisa menikmati rasa nikmat yang menjalar cepat di batang kontolku, rasa hangat dan geli seperti dipijit-pijit oleh benda yang sangat lembek dan empuk, membuatku meringis dan merintih dalam tidur. Cukup lama aku menikmatinya, sampai akhirnya aku mengejang tak lama kemudian. Sebenarnya aku tak ingin rasa itu cepat berakhir, tapi mau bagaimana lagi, kutahan sekuat apapun, aku tetap tidak bisa mencegah rasa nikmatnya. Terpaksa kubiarkan spermaku menyembur keluar sebelum aku kembali terlelap beberapa detik kemudian.
Hal itu terus berlangsung selama beberapa minggu berikutnya. Meski cukup menggangu pikiranku, tapi jujur, aku sangat menikmatinya. Mimpi itu terasa nyata sekali, seperti aku benar-benar melakukannya. Sampai akhirnya, kembali kakek harus pergi ke kota untuk membeli bibit. “Besok senin, pagi-pagi aku sudah pulang.” katanya kepada mbak Darsih. Dia lalu menoleh kepadaku. “Kamu istirahat aja, besok kan sekolah.” katanya. Ya, saat itu badanku memang sedikit kurang enak. Sepertinya masuk angin.
Kakek menyuruh mbak Darsih untuk mengerokiku, tapi aku tidak mau. ”Bentar juga enakan sendiri.” kataku.
Tapi sorenya, saat aku masih meringkuk di kamar dengan badan lemas, mbak Darsih menghampiriku. “Sini, kukerok aja. Kamu juga nggak usah mandi dulu, takut nanti tambah parah.” katanya.
Aku hanya diam dan tetap berbaring tengkurap. Mbak Darsih kemudian mengangkat kaosku. Sambil mengurut punggungku dengan uang koin, dia berkata. “Kamu tuh udah gede, kalau mandi tutup pintunya, jangan seenaknya gitu, apa nggak malu?” tanyanya.
“Malu sama siapa, mbak? Kan nggak ada orang, paling cuma kakek.” kataku.
“Iya, tapi kali aja ada tetangga yang datang.” kata mbak Darsih. ”Ah, nggak merah. Kamu mungkin telat makan aja, jadinya kembung. Makanya jangan telat makan.” dia menasehati dan akhirnya memijat punggungku.
Setelah punggung selesai, ia kemudian menyuruhku berbalik. ”Biar kupijat dada sama perutmu.” katanya.
Kubalikkan badan. Aku mulai merasa geli saat mbak Darsih perlahan mengurut perutku. Tanpa sadar, kontolku mulai bergerak menegang.
”Kamu tuh yang bener kalau pake celana. Celana rusak masih aja di pake.” katanya. Aku saat itu memang memakai celana bekas SD-ku dulu yang bagian resletingnya sudah rusak, hingga menampakkan sedikit kulit batang penisku.
Saat mbak Darsih memijat bagian bawah perutku, kontolku makin tak karuan tegangnya, mbak Darsih hanya tersenyum saat melihatnya. ”Ih, tuh kan, saking sempitnya sampe nonjol gitu.” katanya dengan halus. ”Kayaknya sesak banget ya?” tanya mbak Darsih.
Aku kira dia membicarakan celanaku, jadi aku menyahut enteng saja. ”Iya, mbak.” jawabku.
”Dibuang saja,” kata mbak Darsih.
”Dibuang gimana, mbak?” kataku tak mengerti.
Tidak menjawab, perlahan mbak Darsih memijat pangkal pahaku. Dan entah sengaja atau tidak, dia berkali-kali menyenggol bagian selangkanganku. ”Ih, bener. Sesak banget! Kayaknya pengen dikeluarin tuh.” katanya.
”Dikeluarin?” aku semakin tak mengerti.
”Bener-bener harus dibuang, hehe.” sahut mbak Darsih sambil terkikik.
“Terserah ah, gimana enaknya mbak aja.” jawabku pada akhirnya. Pasrah, percaya sepenuhnya kepadanya.
“Iya, tapi kamu jangan bilang-bilang kakek ya?” bisiknya.
“Iya, mbak, masa mau bilang kakek,” kataku mengangguk, masih berfikir dan tak mengerti apa yang ia maksudkan.
”Ehm… sekarang, tutup muka kamu dengan bantal.” kata mbak Darsih kemudian.
Aku menurut, walau sedikit heran. Masa lepas celana aja harus pakai tutup muka segala? Tapi aku tetap melakukannya. “Gini ya, mbak?” kutindihkan bantal ke mukaku hingga aku tidak bisa melihat apa-apa.
”Aku buang semuanya ya?” kata mbak Darsih.
Aku masih tak mengerti, tapi aku tetap menjawab, ”Terserah, mbak.”
Akhirnya kurasakan celanaku ditarik ke bawah. Dan tidak cuma celana pendek, kurasakan celana dalamku pun ikut ia tarik hingga terlepas semuanya. Sungguh, aku merasa kikuk, malu, dan agak risih telanjang di depan mbak Darsih. ”Mungkin mbak mau mengganti semuanya karena aku nggak mandi,” bisikku dalam hati untuk menenangkan pikiranku yang mulai bergejolak. Di bawah, kontolku yang sudah menegang kini makin mengacung tegak ke atas saat tangan mbak Darsih mulai merabanya, memperlihatkan segala kejantanan dan kekuatannya.
”Ih, keras amat” katanya sambil mulai mengocok pelan. Rasa geli dan nikmat langsung kurasakan, aku tidak sanggup untuk menolak. Apalagi saat tak lama kemudian, kurasakan tubuh montok milik mbak Darsih mulai mengangkangiku, membuatku makin terbuai dan terpesona. Batang kontolku kini tepat menempel ke belahan vaginanya. Bahkan sesaat kemudian, kurasakan ujung kontolku perlahan menembus, memasuki belahan dagingnya yang sangat hangat, yang mengingatkanku akan nikmat mimpi basahku beberapa minggu terakhir. Sungguh, seperti ini rasanya, sangat mirip sekali!!
”Kamu diam saja, jangan dibuka bantalnya!” mbak Darsih berkata sambil terus menekan pinggulnya ke bawah. Dinding vaginanya yang lembek dan lengket semakin menggerogoti batang kontolku. Ya Tuhan, apa mbak Darsih sedang menyetubuhiku? Tanyaku dalam hati, namun tidak bisa menolak. Begitu nikmat rasa ini hingga aku tidak bisa berbuat apa-apa, aku hanya bisa diam dan menikmati apapun yang ia berikan.
Di sela-sela kebingunganku, perlahan tapi pasti, kontolku semakin masuk ke dalam, menghunjam dan menembus memek mulus mbak Darsih, bahkan kini sudah mentok di mulut rahimnya. Kontolku kini sudah menancap sepenuhnya, mengisi rongga memek mbak Darsih yang kurasa sangat sempit dan legit. Aku hanya bisa menutup mata dan menyembunyikan mukaku di balik bantal saat perlahan mbak Darsih mulai menggerakkan badannya naik turun. Goyangannya itu membuat alat kelamin kami yang saling bertaut erat mulai bergesekan pelan. Rasanya sungguh nikmat sekali. Kudengar nafas mbak Darsih semakin berat dan tak teratur, membuatku semakin tak kuasa menahan gejolak. Akhirnya akupun mengejang. Perlahan cairan hangat keluar dari kontolku, menyemprot deras di liang memek mbak Darsih, yang dibalas olehnya dengan denyutan nikmat dinding-dinding rahimnya.
Setelah muncrat semuanya, barulah mbak Darsih melepaskan himpitannya dan merapikan kembali celanaku. Kontolku yang basah oleh cairan kental, ia lap dengan menggunakan kain lembut. Kutebak itu adalah celana dalamnya. “Udah, boleh dibuka sekarang.” kata mbak Darsih kemudian. ”Sudah nggak sesak lagi kan?” tanyanya sambil tersenyum.
Aku hanya diam, tidak tahu harus berkata apa. Persetubuhan pertamaku dengan mbak Darsih membuatku kehilangan kata-kata. Tapi, benarkah ini yang pertama? Setelah merapikan kembali pakaiannya, kuperhatikan mbak Darsih yang melangkah pergi meninggalkan kamarku.
Keesokan harinya, kakek masih belum kembali. Di sekolah, aku jadi sering melamun, membayangkan apa yang telah aku dan mbak Darsih lakukan kemarin. Aku tahu bahwa itu terlarang dan tidak boleh, tapi entahlah, aku menyukainya. Dan aku tidak ingin berhenti, aku ingin mengulanginya lagi kalau ada kesempatan. Sepertinya aku telah ketagihan dan merindukan memek mbak Darsih. Aku telah dewasa sebelum waktunya.
Pulang sekolah, meski lagi konak berat, aku cuma tiduran di kamar. Aku tidak berani mendekati mbak Darsih yang sedang asyik nonton teve di ruang tengah. Aku sedang mengusap-usap batang kontolku yang sudah tegang saat dia menyapaku dari pintu kamar.
“Kamu sakit?” tanya mbak Darsih yang tahu-tahu sudah berada disana.
”Nggak, mbak.” kataku salah tingkah karena sudah dipergoki seperti itu.
”Kok di kamar aja,” kata mbak Darsih sambil tersenyum.
Aku hanya diam, tak tahu harus memberikan jawaban apa.
”Apa sesak lagi?” dia bertanya lagi, matanya menatap penuh pengertian.
”Ah, nggak juga, mbak.” kilahku untuk menutupi rasa malu, untungnya saat itu aku juga mengenakan celana longgar yang sedikit banyak bisa menyembunyikan tonjolan penisku.
“Ya udah, sini perutnya mbak minyakin biar nggak masuk angin lagi.” katanya, dan tanpa disuruh, dia pun meminyaki perutku, lalu memijatnya perlahan. Hal itu kembali membuat kontolku terbangun.
”Ih, dari luar memang nggak kelihatan, tapi dalamnya kelihatan sesak tuh,” mbak Darsih menunjuk daerah kontolku yang perlahan-lahan berubah menjadi semakin munjung.
“Ehm, iya kali, mbak.” kataku pasrah karena aku memang tidak bisa menutupinya lagi.
”Tegang ya?” bisik mbak Darsih sedikit genit.
”Iya, kenapa ya, mbok?” kataku polos.
“Nggak apa-apa, normal.” katanya sambil dengan tangan mulai mengusap-usap perlahan. Aku mulai merasa nikmat di batang kontolku akibat belaiannya. ”Mau dibuang?” tawarnya.
”Jangan, mbak, sayang.” kataku bodoh.
”Nggak apa, nanti juga ada gantinya.” ia tersenyum.
Aku terdiam, berusaha mencerna ucapannya. “Ehm, terserah mbak aja deh.” kataku pada akhirnya.
Kembali mbak Darsih menutup mukaku dengan bantal. Dan perlahan, kembali kurasakan nikmat menjalari batang kontolku saat dia menduduki dan menjepit batang kontolku di belahan lubang vaginanya.
“Mbak, kalau kakek pulang bagaimana?” tanyaku sambil merintih keenakan menikmati genjotannya.
”Tenang saja, nanti juga gedor pintu.” jawab mbak Darsih. Kurasakan goyangannya menjadi semakin cepat sekarang.
”Mbak, maksud mbak sesek itu apa?” tanyaku dengan tangan berpegangan erat pada sprei, berusaha menahan desakan nikmat dari batang penisku agar tidak cepat memancar keluar.
”Ah, kamu pura-pura nggak tahu ya?” kata mbak Darsih.
”Beneran, mbak.” sahutku masih dengan muka tertutup bantal. Tidak bisa kuketahui bagaimana raut muka mbak Darsih sekarang, tepai dari erangan dan rintihannya, sepertinya dia merasa nikmat sekali, sama seperti yang aku rasakan sekarang.
”Maksud mbak, ininya kamu sudah penuh.” katanya sambil meraba biji pelirku.
“Oh, kirain celanaku yang sesek.” kataku baru mengerti. Saat itulah mbak Darsih tersadar, ternyata kami telah salah paham. Dia langsung menghentikan gerakannya diatas kontolku. ”Mbak, kenapa?” tanyaku bingung, tak ingin kenikmatan ini terputus di tengah jalan.
”Aduh, gimana dong?” kata mbak Darsih sedikit panik. ”Maaf ya, kukira kamu mengerti…” dia sudah akan mencabut vaginanya, tapi segera kutahan pinggulnya.
“Nggak apa-apa, mbak. Aku nggak akan cerita sama kakek.” kataku menenangkan.
Mbak Darsih terdiam, seperti masih berusaha mencerna kata-kataku. ”Beneran ya?” ia bertanya memastikan.
”Iya, mbak. Asal mbak mau beginian terus sama aku.” kataku dari balik bantal. Selama dia tidak menyuruh, aku akan tetap bersembunyi.
“Baiklah, mbak juga sudah tanggung. Mbak pinjam sebentar inimu ya?” katanya sambil memegangi penisku yang kini cuma kepalanya saja yang masih menancap.
”Iya, mbak.” sahutku dengan senang hati.
Akhirnya mbak Darsih pun melanjutkan gerakan naik turunnya di atas batang kontolku, hingga tak lama kemudian, aku kembali memuntahkan cairan kental ke dalam memeknya.
”Terima kasih ya,” dia mencium pipiku dan kembali merapikan pakiannya.
”Sama-sama, mbak.” Aku yang kelelahan, dengan tetap telanjang, terlelap tak lama kemudian.
Sejak itu, sesekali, jika mbak Darsih lagi pingin, dia suka berbisik; ”Boleh pinjam nggak?” Atau jika aku yang pingin, aku terkadang berkata, ”Mbak, kayaknya sesek.” itulah kode yang kami sepakati.
Begitulah, hubungan terlarang kami terus terjalan. Bahkan kami seakan tak peduli tempat dan waktu, jika hasrat kami sudah tak terbendung, kami selalu berusaha menuntaskannya, kapanpun dan dimanapun. Bahkan pernah, di malam hari, mbak Darsih masuk ke kamarku dan naik ke atas tubuhku, padahal saat itu kakek lagi ada di rumah. Nekat sekali dia, tapi aku juga tidak bisa menolak karena aku tahu kalau kakek sudah terlelap.
Yang lebih gila, pernah kusetubuhi mbak Darsih di gubuk tengah ladang saat ia tengah mengantarkan makanan buat kakek. Sementara kakek mencangkul untuk membuat bedengan, kutindih istrinya yang masih nikmat dan cantik itu hanya dengan beralaskan tikar lusuh. Kakek sama sekali tidak curiga karena matanya memang sudah sangat rabun, ia tidak bisa melihat jelas ke gubuk dimana kami berada.
Sering juga saat kakek nonton teve di ruang tengah, kuseret mbak Darsih ke dapur. Hanya dengan bertumpu pada meja, kutusuk tubuh sintalnya dari belakang. Mbak Darsih berusaha menutupi mulutnya dengan tangan agar rintihan dan teriakannya tidak sampai terdengar oleh kakek. Tapi aku yakin itu tidak akan terjadi karena kakek juga sedikit tuli.
Tapi selama kami bercinta dan bersetubuh, aku dan mbak Darsih tidak pernah melakukan kontak lain selain pertautan alat kelamin kami. Aku tak pernah mencium bibirnya, juga meraba tubuh sintalnya. Paling banter aku cuma sedikit memeluknya kalau sudah konak banget. Jika lagi pingin, aku biasanya langsung menusukkan kontolku ke memek mbak Darsih tanpa melakukan foreplay atau pemanasan terlebih dahulu. Gairah kami yang meluap-luap sudah cukup untuk membuat memek mbak Darsih jadi basah dan lengket.
Jika mbak Darsih yang pingin, biasanya dia meremas-remas dulu batang penisku, baru memasukkannya ke dalam lubang kenikmatannya. Sesekali aku memang kadang meremas payudara montok milik mbak Darsih disela-sela genjotan kontolku, tapi tak pernah lebih dari itu. Bahkan melihat bagaimana warna dan bentuknya saja, aku juga tidak pernah. Bagiku yang penting kontolku bertemu dengan memeknya, itu sudah lebih dari cukup.
Sungguh, walau diperlakukan begitu, aku tetap puas. Begitu juga dengan mbak Darsih. Jika aku datang, menusukkan kontolku, dan pergi meninggalkannya jika sudah usai, baginya itu sudah merupakan hal yang paling nikmat. Rupanya setelah hampir setahun tak pernah merasakan kepuasan dari kakek, ia jadi gampangan seperti itu. Tapi untungnya ada aku yang siap memuaskannya sewaktu-waktu, hingga disela-sela kesepiannya, dan kesepian di kampungku, mbak Darsih tetap bisa meraih kenikmatan ragawi dan berpacu di malam-malam gelap dan sunyi bersamaku.